Kamis, 24 Februari 2011

PERSAHABATAN


Setelah meletakan dan mengunci sepedanya di tempat parker,  wahyu cepat –cepat berlari menuju kelasnya. Sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi. Uh, gara- gara habis shalat subuh tadi tidur lagi, aku jadi kesiangan! Kesalnya dalam hati.
Baru saja saja kaki Dani sampai di depan pi\ntu kelas, bel tanda masuk berbunyi nyaring. Wahyu langsung mendaratkanpantatnya di tempat duduknya. Tapi, lo... yang duduk ndi kursi sebelah ku kok Azis, bukan Angga? Wahyu kaget teman sebelah bangkunya berganti orang. Angga, teman sebangkunya kini duduk sebang ku dengan putra.
          “Loh, yu...., kamu kok gak duduk sama putra,“ tanya wahyu, heran. Tapi Azis tak menjawab. Mukanya tampak keruh sekali. Jangan – jangan dia habis bertengkar dengan putra ? Terka Azis dalam hati.
          “Ng..., yu..., boleh kan aku dudukl dengan kamu?“ Azis bertanya dengan ragu- ragu. Wahyu mengernyitkan dahi. Bingung.
          “Boleh kan, yu? Aziz memohon.
          “Boleh, boleh saja, kok. Tapi bilang dulu apa alasanmu sampai pindah duduk segala?“ Wahyu minta poenjelasan. Di kursi sebelah kanan Wahyu, Putra sekarang duduk dengan Angga kelihatan gelisah.
          “Nanti saja deh, aku ceritakan,“ ujar Aziz akhirnya.
          Wahyu ingin bertanya lagi tapi Pak Andy, guru Bahasa Indonesia, yang akan mengajar pada jam pertama sudah masuk kelas.
          “Selamat pagi, Anak-anak ....,“ Pak Andy menyapa penuh semangat.
          “Selamat pagi, Paaakkk ….,!” Anak-anak menjawab kompak.
          “Silahkan kumpulkan tugas kalian minggu lalu!“ perintah Pak Andy dengan nada yang akrab tapi tegas. Itulah gaya mengajar Pak Guru yang masih muda itu, tegas, disiplin, tapi jauh dari kesan galak. Bila mengeluarkan perintah selalu menyisipkan kata “Silahkan“, atau “terima kasih“ bila anak-anak telah melaksanakan perintahnya. Dengan sikapnya yang demikian membuat anak-anak menjadi patuh dan hormat, karena mereka merasa dihargai juga oleh Pak Andy.
          “Terima kasih, kalian telah mengerjakan tugas dan mengumpulkannya dengan tertib,“ kata Pak Andy kemudian, setelah satu persatu anak-anak menyerahkan kertas tugas itu kemeja guru.
          “Wahyu, coba kamu bacakan ringkasan buku cerita milik Putra!” tunjuk Pak Andy pada Wahyu. Tempat duduk Wahyu berada tepat di meja guru, sehingga ia sering mendapat giliran pertama untuk maju. Atau, pada kali ini, anak yang duduk di bangku paling pojok belakang yang mendapat giliran pertama untuk maju pertama. Pokoknya diganti-ganti, biar ada variasi, kata Pak Andy.
          Wahyu pun maju kedepan dan membacakan tugas milik Putra. Minggu lalu, Pak Andy memberi tugas pada anak-anak untuk membuat ringkasan cerita dari buku yang mereka baca. Bukunya pinjam dari perpustakaan atau milik pribadi.
          Saat Wahyu membacakan tugas itu Putra tampak tersenyum bangga, sedangkan Aziz malah meregut tak senang.
          Satu per satu anak-anak itu bergiliran maju, hingga selesai. Pak Andy memberikan hadiah buku cerita anak kepada anak yang nilainya paling tinggi.
          “Ayo, katanya kamu mau cerita,“ kata Wahyu mengingatkan Aziz, ketika keduanya duduk di bangku kantinpada saat istirahat pertama. Kedua anak itu memesan dua mangkok kolak pisang pada pelayan kantin. Tak berapa lama pesanan pun datang.
          Sambil makan kolak pisang, Aziz pun menceritakan masalah pada Wahyu. Tentang Putra yang selalu mau menang sendiri, dalam hal apa saja. Putra sering meminjam barng milik Pziz, seperti VCD, kast, atau buku. Tapi, Putra kalau meminjam lama sekali. Dan, setelah kembali pasti dalam keadaan rusak. Meski demikian, Putra tak pernah meminta maaf pada Aziz. Seolah-olah ia tak pernah melakukan kesalahan.
          Karena Aziz tak berani menegur, maka sikap Putra semakin menjadi-jadi saja. Lama-lama Aziz menjadi bosan juga dipermalukan begitu oleh Putra. Maka, pagi ini ia pun protes pada Putra ketika buku ceritanya yang terbaru, yang dipinjam Putra untuk dibaca dan diringkas untuk tugas, dikembalikan dalam kondisi rusak parah. Tapi, Putra malah marah-marah, dan mengatakan bahwa Aziz sombong, pelit, dan suka menuntut. Padahal Aziz tak pernah menuntut ganti rugi, Cuma mengingatkan Putra agar lebih berhati-hati menjaga barang pinjamannya.
          “Ooh, karena itulah kamu pindah tempat duduk?“ tanya Wahyu maklum, setelah Aziz menuntaskan ceritanya. Aziz menangguk lemah.
          Wahyu menatap ibs pada Aziz, yang pendiam dan suka menyendiri. Temannya tidak banyak. Hanya Putra teman dekatnya. Tapi, ternyata Putra sering mempermalukan Aziz sesuka hatinya. Hati Wahyu pun terusik. Ia tidak mau kedua anak itu terus bermusuhan. Ia harus mendamaikan keduanya. Ya, sebagai ketua kelas Wahyu merasa punya tanggung jawab untuk menjaga kerukunan warga kelasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar